slider






Sunday, 1 May 2016

FARMAKOLOGI PADA SISTEM PERKEMIHAN

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  PENGERTIAN
Berasal dari kata (Yunani)
Pharmakon : obat
Logia : studi/ilmu
“Ilmu tentang obat”
Farmakologi atau yang bisa disebut dengan “ ilmu khasiat obat “ adalah merupakan ilmu yang mempelajari pengetahuan obat dalam seluruh aspeknya baik sifat kimiawinya, fisikanya, kegiatan fisiologi, resorpsi dan nasibnya dalam organisme hidup.
Sedangkan pengertian Farmakologi ( menurut Wikipedia ) adalah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan obat-obatan. Biasa dalam ilmu ini dipelajari:
·         Penelitian mengenai penyakit-penyakit
·         Kemungkinan penyembuhan
·         Penelitian obat-obat baru
·         Penelitian efek samping obat-obatan dan atau teknologi baru terhadap beberapa penyakit berhubungan dengan perjalanan obat di dalam tubuh serta perlakuan tubuh terhadapnya.
Pada mulanya farmakologi mencakup berbagai pengetahuan tentang obat yang meliputi: sejarah, sumber, sifat-sifat fisika dan kimiawi, cara meracik, efek fisiologi dan biokimiawi, mekanisme kerja, absorpsi, distribusi, biotranformasi dan ekskresi, serta penggunaan obat untuk terapi dan tujuan lain.




PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALAM PEMBERIAN OBAT

1.      Benar Pasien
Sebelum obat diberikan, identitas pasien harus diperiksa (papan identitas di tempat tidur, gelang identitas) atau ditanyakan langsung kepada pasien atau keluarganya. Jika pasien tidak sanggup berespon secara verbal, respon non verbal dapat dipakai, misalnya pasien mengangguk. Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat gangguan mental atau kesadaran, harus dicari cara identifikasi yang lain seperti menanyakan langsung kepada keluarganya. Bayi harus selalu diidentifikasi dari gelang identitasnya.
2.      Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik. Setiap obat dengan nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa nama generiknya, bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama generiknya atau kandungan obat. Sebelum memberi obat kepada pasien, label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali. Pertama saat membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat, kedua label botol dibandingkan dengan obat yang diminta, ketiga saat dikembalikan ke rak obat. Jika labelnya tidak terbaca, isinya tidak boleh dipakai dan harus dikembalikan ke bagian farmasi.
Jika pasien meragukan obatnya, perawat harus memeriksanya lagi. Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan. Ini membantu mengingat nama obat dan kerjanya.
3.      Benar Dosis
Sebelum memberi obat, perawat harus memeriksa dosisnya. Jika ragu, perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien. Jika pasien meragukan dosisnya perawat harus memeriksanya lagi. Ada beberapa obat baik ampul maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya. Misalnya ondansentron 1 amp, dosisnya berapa ? Ini penting !! karena 1 amp ondansentron dosisnya ada 4 mg, ada juga 8 mg. ada antibiotik 1 vial dosisnya 1 gr, ada juga 1 vial 500 mg. jadi Anda harus tetap hati-hati dan teliti.
4.      Benar Cara/Rute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda. Faktor yang menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum pasien, kecepatan respon yang diinginkan, sifat kimiawi dan fisik obat, serta tempat kerja yang diinginkan. Obat dapat diberikan peroral, sublingual, parenteral, topikal, rektal, inhalasi.

a.       Oral
Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai, karena ekonomis, paling nyaman dan aman. Obat dapat juga diabsorpsi melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN.

b.      Parenteral
Kata ini berasal dari bahasa Yunani, para berarti disamping, enteron berarti usus, jadi parenteral berarti diluar usus, atau tidak melalui saluran cerna, yaitu melalui vena (perset / perinfus).

c.       Topikal
Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa. Misalnya salep, losion, krim, spray, tetes mata.

d.      Rektal
Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria yang akan mencair pada suhu badan. Pemberian rektal dilakukan untuk memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp), hemoroid (anusol), pasien yang tidak sadar / kejang (stesolid supp). Pemberian obat perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat dalam bentuk oral, namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam bentuk supositoria.

e.       Inhalasi
Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan. Saluran nafas memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas, dengan demikian berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya, misalnya salbotamol (ventolin), combivent, berotek untuk asma, atau dalam keadaan darurat misalnya terapi oksigen.

5.      Benar Waktu
Ini sangat penting, khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai. Jika obat harus diminum sebelum makan, untuk memperoleh kadar yang diperlukan, harus diberi satu jam sebelum makan. Ingat dalam pemberian antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap. Ada obat yang harus diminum setelah makan, untuk menghindari iritasi yang berlebihan pada lambung misalnya asam mefenamat.
6.      Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan, harus didokumentasikan, dosis, rute, waktu dan oleh siapa obat itu diberikan. Bila pasien menolak meminum obatnya, atau obat itu tidak dapat diminum, harus dicatat alasannya dan dilaporkan

2.1.1        Farmakokinetika
Studi tentang absorpsi, distribusi, dan biotransformasi serta eksresi (eliminasi) atau Pengaruh organisme hidup terhadap obat atau Penanganan obat oleh organisme hidup. Farmakokinetik adalah proses pergerakan obat untuk mencapai kerja obat. 4 proses yang termasuk didalamnya adalah: Absorbsi, distribusi, metabolisme ( atau biotransformasi), dan eksresi ( eliminasi )..
1.      Absorbsi
Absorbsi adalah pergerakan vartikel-vartikel obat dari saluran gastrointestinal dalam cairan tubuh melalui absorbsi pasif, absorbsi aktif, atau pinositosis. Kebanyakan obat oral diabsorbsi diusus halus melalui kerja permukaan vili mukosa yang luas. Jika sebagian dari vili ini berkurang, karena pengangkatan sebagian dari usus halus, maka absorbsi juga berkurang. Obat-obat yang mempunyai dasar protein, seperti insuluin dan hormon pertumbuhan, dirusak didalam usus halus oleh enzim-enzim pencernaan, absorbsi pasif umumnya terjadi melalui difusi (pergerakan dari konsentrasi tinggi kekonsentrasi rendah). Dengan proses difusi, obat tidak memerlukan energi untuk menembus membran. Absorbsi aktif membutuhkan karier (pembawa) untuk bergerak melawan perbedaaan konsentrasi. Sebuah enzim atau protein dapat membawa obat-obat menembus memran. Pinositosis berarti membawa obat menembus membran dengan proses menelan. Membran gastrointestinal terutama terdiri dari lipid, (lemak) dan protein, sehingga obat-obat yang larut dalam lemak cepat menembus membran gastrointestinal.obat-obat yang larut dalam air membutuhkan karier baik berupa enzim maupun protein, untuk melalui membran.vartikel-vartikel besar menembus membran jika telah menjadi tidak bermuatan (nonionized, tidak bermuatan positif atau negatif) obat-obat asam lemak, seperti aspirin, menjadi kurang bermuatan diasam lambung, dan aspirin melewati lambung dengan mudah dan cepat. Asam hidroklorida merusak beberapa obat, seperti penisilin G, Oleh karena itu mulai diperlukan dalam dosis besar karena sebagian hilang akibat cairan cairan lambung.

Absorbsi obat dipengaruhi oleh aliran darah, rasa nyeri, sters, kelaparan, makanan dan PH. Sirkulasi yang buruk akibat shok, obat-obat vasokonstriktor, atau penyakit yang merintangi absorbsi. Ras nyeri. Stres, dan makanan yang padat, pedas dan berlemak dapat memperlambat masa pengosongan lambung, sehingga obat lebih lama berada didalam lambung. Latihan dapat mengurangi aaliran darah dengan mengalihkan darah lebuh banyak mengalir keotot, sehingga menurunkan sirkulasi kesaluran gastrointestinal. Obat-obat yang diberikan secara intramuskular dapat diabsorbsi lebih cepat diotot-otot yang memiliki lebih banyak pembuluh darah, seperti deltoid, darpasda otot-otot yang memiliki lebih sedikit pembuluh darah, sehingga absorbsi leboh lamabat pada jaringan yang demikian. Beberapa obat tidak langsung masuk kedalam sirkulasi sistemik setelah absorbsi tatapi melewati lumen usus masuk kedalam hati, melalui vena porta. Didalam hati, kebanyakan obat dimetabolisasimenjadi bentuk yang tidak aktif untuk dieksresikan, sehingga mengurangi jumlah obat aktif. Proses ini dimana obat melewati hati terlebih dahulu disebut sebagai efek first-pass, atau firstpas hepatik, contoh-contoh obat-obat dengan metabolis first-pass adaalah warparin (coumadin) dan morfm. Lidokain dan nitroglicerin tidakndiberikan secara oral, karena kedua obat ini mengalami metabolisme firstpass yang luas, sehingga sebagian besar dari dosis yang diberikan akan dihancurkan.

2.      Distribusi
Distribusi adalah proses dimana obat menjadi berada didalam cairan tubuh dan jaringan tubuh. Distribusi obat dipengaruhi oleh aliran darah, afinitas (kekuatan penggabungan) terhadap jaringan, dan efek pengikatan dengan protein. Ketika obat didistribusi dalam plasma, kebanyakan berkaitan dengan protein (terutama albumin) dalam derajat (persentase) yang berbeda-beda. Obat-obat yang lebih besar dari 80% berikatan dengan protein dikenal sebagai obat-obat yang berkaitan dengan tinggi protein. Salah satu contoh obat yang berkaitan tinggi dengan protein adalah diazepam (valium) : yaitu 98% berikatan dengan protein. Aspirin 94% berikatan dengan protein dan termasuk obat yang berikatan sedang dengan protein. Bagian obat yang berikatan bersifat inaktif dan bagian obat selebihnya yang tidak berikatan dapat bekerja bebas. Hanya obat-obat yang bebas atau tidak berikatan dengan protein yang bersifat aktif dan dapat menimbulkan respon farmakologi.
Dengan menurunnya kadar obat bebas dalam jaringan, maka lebih banyak obat yang berada dalam ikatan dibebaskan dari ikatannya dengan protein yang menjaga keseimbangan dari obat yang dalam bentuk bebas. Jika ada 2 obat yang berikatan tinggi dengan protein diberikan bersama-sama maka terjadi persaingan untuk mendapatkan tempat pengikatan dengan protein, sehingga lebih banyak obat bebas yang dilepaskan kedalam sirkulasi. Demikian pula kadar protein yang rendah menurunkan jumlah tempat pengikatan dengan protein, sehingga meningkatkan jumlah obat bebas dalam plasma. Dengan demikian dalam hal ini dapat terjadi kelebihan dosis, obat yang diresepkan dibuat berdasarkan persentase dimana obat itu berikatan dengan protein. Jadi penting sekali untuk memeriksa persentase pengikatan dengan protein dari semua obat-obat yang diberikan kepada klien untuk menghindari kemungkinan toksisitas obat. Seorang perawat juga harus memeriksa kadar protein plasma dan albumin plasma klien karena penurunan protein (albumin) plasma akan menurunkan tempat pengikatan dengan protein, sehingga memungkinkan lebih banyak obat bebas dalam sirkulasi. Tergantung dari obat (obat-obat) yang diberikan, akibat dari hal ini dapat mengancam nyawa. Abses, eksudat, kelenjar dan tumor juga mengganggu distribusi obat. Antibiotika tidak dapat didistribusi dengan baik pada tempat abses dan eksudat selain itu, beberapa obat dapat memupuk dalam jaringan tertentu, seperti lemak, tulang, hati, mata, dan otot.
3.      Metabolisme dan biotransformasi
Hati merupakan tempat utama untuk metabolisme. Kebanyakan obat di inaktifkan oleh enzim-enzim hati dan kemudian diubah atu di tranformasikan oleh enzim-enzim hati menjadi metabolik inaktif atau zat yang larut dalam air untuk dieksresikan dalam air. Tetapi beberapa obat ditransformasikan menjadi metabolik aktif, menyebabkan peningkatan respon faramakologi. Penyakit-penyakit hati. Seperti sirosis dan hepatitis,mempengaruhi metabolisme obat. Waktu paruh, dilambangkan dengan t1/2, dari suatu obat adalah waktu yang dibutuhkan oleh separuh konsentrasi obat untuk dieliminasi. Metabolisme dan eliminasi mempengaruhi waktu paruh obat, contohnya, pada kelainan fungsi hati atau ginjal, waktu paruh obat menjadi lebih panjang dan lebih sedikit obat di metabolisme dan eliminasi. Jika suatu obat diberikan terus menerus, maka dapat terjaidi penumpukan obat. Suatu obat akan melalui beberapa kali waktu paruhsebelum lebih dari 90% obat itu dieliminasi. Jika seseorang klien mendapat 650mg aspirin ( miligram ) dan waktu paruhnya adalah tiga jam untuk waktu paruh pertama mengeliminasi 325mg, dan waktuparuh kedua (atau 6 jam) untuk mengeliminasi 162 mg berikutnya dan seterusnya, sampai pada waktu paruh ke enam atau 18 jam dimana tiggal 10 mg aspirin terdapat dalam tubuh.waktu paruh selama 4-8 jam dianggap singkat, 24 jamatau lebh dianggap panjang. Jika suatau obat memiliki waktu paruh yang panjang (seperti di goksin: 36 jam), maka diperlukan beberapa hari agar tubuh dapat mengeliminasi obat tersebut seluruhnya. Waktu paruh obat dibicarakan dalam bagian berikut mengenai farmakodinamik, karena proses farmakodinamik berkaitan dengan kerja obat.
4.      Ekskresi atau eliminasi
Rute utama dari eliminasi obat adalah melalui ginjal, rute-rute yang lain meliputi empedu, feses, paru-paru, saliva, keringat, dan air susu ibu. Obat bebas, yang tidak berkaitan, yang larut dalam air dan obat-obat yang tidak diubah, difiltrasi oleh ginjal. Obat-obat yang berikatan dengan protein tidak dapat difiltrasi oleh ginjal. Sekali obat dilepaskan ikatannya dengan protein, maka obat menjadi bebas dan akhirnya akan diekskresikan melaui urin. pH urin mempengaruhi ekskresi obat. Ph urin berpariasi dari 4,5-8. Urin yang asam menigkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat basa lemah. Aspirin, suatu asam lemak, diekskresi dengan cepat dalam urin yang basa. Jika seseorang meminum aspirin dalam dosis berlebih, namun natrium bikarbonat dapat diberikan untuk mengubah pH urin menjadi basa juice cranberry dalam jumlah yang banyak dapat menurunkan Ph, sehingga terbentuk urin yang asam.

2.1.2        Farmakodinamika
Studi tentang tempat dan mekanisme kerja serta efek fisiologik dan biokimiawi obat pada organisme hidup atau Pengaruh obat terhadap organisme hidup. Farmakodinamik mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia selular dan mekanisme kerja obat. Respons obat dapat menyebabkan efek fisiologis primer atau sekunder atau kedua-duanya. Efek primer adalah efek yang diinginkan, dan efek sekunder bisa diinginkan atau tidak diinginkan. Salah satu contoh dari obat dengan efek primer sekunder adalah difenhidramin (benadryl), suatu anitmstamin. Efek primer dari difenhidramin adalah untuk mengatasi gejala-gejala alergi, dan efek sekundernya adalah penekanan susunan saraf pusat yang menyebabkan rasa kantuk efek sekunder ini tidak diinginkan jika sedang mengendarai mobil, tetapi pada saat tidur, dapat menjadi diinginkan karena menimbulkan sedasi ringan.
1.      Mula, puncak, dan lama kerja
Mula kerja dimulai pada waktu obat memasuki plasma dan berakhir sampai mencapai konsentrasi efektif minimum (MEC minimum effective concentration) punck kerja terjadi pada saat obat mencapai konsentrasi tertinggi dalam darah atau plasma. Lama kerja adalah lamanya obat mempunyai efek farmakologis.

Beberapa obat menghasilkan efek dalam beberapa menit, tetapi yang lain dapat memakan waktu beberapa hari atau jam kurva responswaktu menilai tiga parameter dari kerja obat mula kerja obat, puncak kerja, dan lama kerja.

Kadar obat dalam plasma atau serum menurun di bawah ambang atau MEC maka ini berarti dosis obat yang memadai tidak tercapai, kadar obat yang terlalu tinggi dapat menyebabkan toksitas.

2.      Teori Reseptor
Reseptor, berstruktur protein, ditemukan pada membran sel obat-obat yang bekerja melalui reseptor maka akan menghasilkan (memulai) respon atau menghambat (mencegah) respon. Aktivitas dari kebanyakan obat ditentukan oleh kemampuan obat untuk berkaitan dengan reseptor, maka obat tersebut semakin aktif secara biologis, ini serupa dengan memasukkan kunci yang tepat ke dalam lubang kunci.

Obat-obat yang menghasilkan respons disebut agonis, dan obat-obat yang menghambat respons disebut antagonis. Isopreterenol (isuprel) merangsang reseptor beta 1, dan karena itu disebut sebagai agonis. Simetidin (tagamet), suatu antagonis menghambat reseptor H2, sehingga mencegah sekresi asam lambung yang berlebihan.

Hampir semua obat, agonis dan antagonis, kurang mempunyai efek spesifik dan selektif. Sebuah reseptor yang terdapat di tempat-tempat yang berbeda dalam tubuh menghasilkan bermacam-macam respons fisiologis, tergantung di mana reseptor itu berada. Reseptor-reseptor kolinergik terdapat di kandung kemih, jantung, pembuluh darah, paru-paru dan mata. Sebuah obat yang merangsang atau menghambat reseptor-rseptor kolinergik akan bekerja pada semua letak anatomis. Obat-obat yang bekerja pada berbagai tempat seperti itu dianggap sebagai nonspesifik atau memiliki nonspesifitas. Betanekol (urecholine) dapat diserapkan untuk retensi urin pascabedah untuk meingkatkan kontraksi kandung kemih. Karena betanekol (urecholine) dapat diresekan untuk retensi urin pascabedah untuk meningkatkan kontraksi kandung kemih. Karena betanekol mempengaruhi reseptor kolinergik, maka tempat kolinergik lain ikut terpengaruh; denyut jantung menurun, tekanan darah menurun, sekresi asam lambung meningkat, bronkiolus menyempit, dan pupil mata mengecil. Efek-efek lain ini mungkin diinginkan mungkin juga tidak berbahaya bagi pasien. Obat-obat yang menimbulkan berbagai respons di seluruh tubuh ini meiliki respons di seluruh tubuh ini memiliki respons yang nonspesifik.

Obat-obat  juga dapat bekerja pada reseptor-reseptor yang berbeda. Obat-obat yang mempengaruhi berbagai reseptor disebut nonselektif atau memiliki non selektifitas. Klorpromazin (thorazine) bekerja pada reseptor-reseptor norepinefrin, dopamin, asetikolin, dan histamin, dan berbagai respons dihasilkan dari tempat-tempat reseptor itu. Salah satu contoh lain  adalah epinefrin. Ia bekerja pada reseptor-reseptor alfa, betas, dan beta2 obat-obat yang menghasilkan respons tetapi tidak bekerja pada reseptor dapat berfungsi dengan merangsang aktivitas enzim atau produksi hormon.

Empat kategori dari kerja obat meliputi perangsangan atau penekanan, penggantian, pencegahan atau membunuh organisme, iritasi. Kerja obat yang merangsang akan meningkatkan sekresi dari kelenjar.
Obat-obat pengganti, seperti insulin, menggantikan senyawa-senyawa tubuh esensial.
Obat-obat  yang mencegah atau membunuh organisme menghambat pertumbuhan sel bakteri. Penisilin mengadakan efek bakterisidalnya dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri. Obat-obat juga dapat bekerja melalui mekanisme iritasi. Laksatif dapat mengritasi dinding kolon bagian dalam, sehingga meningkatkan peristaltik dan defeksi. Kerja obat dapat berlangsung beberpa jam, hari,minggu, atau bulan lama kerja tergantung dari waktu paruh obat, jadi waktu paruh merupakan pedoman yang penting untuk menentukan interval dosis obat. Obat-obat dengan waktu paruh pendek, seperti penisilin G(t1/2 nya 2 jam), diberikan beberapa kali sehari obat-obat dengan waktu paruh panjang , seperti digoksin (36 jam), diberikan sekali sehari. Jika sebuah obat dengan waktu paruh panjang diberikan dua kali atau lebih dalam sehari, maka terjadi penimbunan obat di dalam tubuh dan mungkin dapat menimbulkan toksisitas obat. Jika terjadi gangguan hati atau ginjal, maka waktu paruh obat akan meningkat. Dalam hal ini, dosis obat yang tinggi atau seringnya pemebrian obat dapat menimbulkan toksisitas obat.

3.      Indeks terapeutik dan batasan terapeutik
Keamanan obat merupakan hal yang utama. Indeks terapeutik (TI),yang perhitungannya seperti tertera di bawah, memperkirakan batas keamanan sebuah obat dengan menggunakan rasio yang mengukur dosis terapeutik efektif pada 50% hewan (LD50). Semakin dekat rasio suatu obat kepada angka 1, semakin besar bahaya toksisitasnya.
Obat-obat dengan indeks terapeutik rendah mempunyai batas keamanan yang sempit. Dosis obat mungkin perlu pemyesuaian dan kadar obat dalam plasma (serum) perlu dipantau karena sempitnya jarak keamanan antara dosis efektif dan dosis etel obat-obat dengan indeks terapeutik tinggi mempunyai batas keamanan yang lebar dan tidak begitu berbahaya dalam menimbulkan efek toksik. Kadar obat dalam plasma (serum) tidak perlu dimonitor secara rutin bagi obat-obat yang mempunyai indeks terapeutik yang tinggi. Batas terapeutikdari konsentrasi suatu obat dalam plasma harus berada di antara MEC(konsentrasi obat terendah dalam plasma untuk memperoleh kerja obat yang diinginkan) dan efek toksisitasnya. Jika batas terapeutik diberikan, maka ini mencakup baik bagman obat yang berkaitan dengan protein maupun yang tidak. Buku refrensi obat memberikan banyak batas terapeutik obat dalam plasma (serum). Jika batas terapeutik sempit, seperti digoksin, 0,5-2 ng/mL (nanogram per milimeter) kadar dalam plasma perlu perlu dipantau secara periodik untuk menghindari toksisitas obat. Pemantauan batas terapeutik tidak perlu jika obat tidak dianggap sangat toksik.

4.      Kadar puncak dan terendah
Kadar obat puncak adalah konsentrasi plasma tertinggi dari sebuah obat pada waktu tertentu. Jika obat diberikan secara oral, waktu puncaknya mungkin 1 sampai 3 jam setelah pemberian obat, tetapi jika obat diberikan secara intravena, kadar puncaknya mungkin dicapai dalam 10 menit. Sampel darith harus diambil apada waktu puncak yang dianjurkan sesuai dengan rute pem berian.
Kadar terendah adalah konsentrasi plasma terendah dari sebuah obat dan menunjukan kecepatan eliminasi obat. Kadar terendah diambil beberapa menit sebelum obat diberikan, tanpa memandang apakah diberikan secara oral atau intravena. Kadar puncak menunjukan kecepatan eliminasi suatu obat. Kadar puncak dan terendah diperlukan bagi obat-obat yang memiliki indeks terapeutik yang sempit dan dianngap toksik, seperti aminoglikosida (sntibiotika jika kadar terendah terlalu tinggi, maka toksisitas akan terjadi.

5.      Dosis pembebanan
Jika ingin didapatkan efek obat yang segera, maka dosis awal yang besar, dikenal sebagai dosis pembebanan, dari obat tersebut diberikan untuk mencapai MEC yang cepat dalam plasma. Setelah dosis awal yang besar, maka diberikan dosis sesuai dengan resep per hari. Digoksin, suatu preparat digitalis, membutuhkan dosis.
Pemebanan pada saat pertama kali diresepkan. Digitalisasi adalah istilah yang dipakai untuk mencapai kadar MEC untuk digoksin dalam plasma dalam waktu yang singkat.

6.      Efek sampling,  reaksi yang merugikan, dan efek toksik
Efek sampling adalah efek fisiologis yang tidak berkaitan dengan efek obat yang diinginkan. Semua obat mempunyai efek samping baik yang diinginkan maupun tidak. Bahkan dengan dosis obat yang tepat pun, efek samping dapat terjadi dan dapat diketahui bakal terjadi sebelumnya. Efek samping terutama diakibatkan oleh kurangnya spesifitas obat tersebut, seperti  betanekol (urecholine). Dalam beberapa masalah kesehatan, efek samping mungkin menjadi diinginkan, seperti benadryl  diberikan sebelum tidur : efek sampingnya yang berupa rasa kantuk menjadi menguntungkan. Tetapi pada saat- saat lain, efek samping dapat menjadi reaksi yang merugikan. Istilah efek samping dan reaksi yang merugikan adalah batas efek yang tidak diinginkan (yang tidak diharapkan dan terjadi pada dosis normal) dari obat-obat yang mengakibatkan efek samping yang ringan sampai berat, termasuk anafilaksis (kolaps kardiovaskular) reaksi yang merugikan selalu tidak diinginkan. Efek toksik, atau toksisitas suatu obat dapat diidentifikasi melalui pemantauan batas terapeutik obat tersebut dalam plasma (serum). Tetapi untuk obat-obat yang mempunyai indeks terapeutik yang lebar, batas terapeutik jarang diberikan. Untuk obat-obat yang mempunyai indeks terapeutik yang sempit, seperti antibiotika aminoglikosida dan antikonvulsi, batas terapeutik, maka efek toksik kemungkinan besar akan terjadi akibat dosis yang berlebih atau penumpukan obat.

2.1.3        Farmakoterapi
Merupakan cabang ilmu farmakologi yang mempelajari penggunaan obat untuk pencegahan dan menyembuhkan penyakit
2.1.4        Farmakognosi
Cabang ilmu farmakologi yang mempelajari sifat-sifat tumbuhan dan bahan lain yang merupakan sumber obat
2.1.5        Khemoterapi
Cabang ilmu farmakologi yang mempelajari pengobatan penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen termasuk pengobatan neoplasma
2.1.6        Toksikologi
Ilmu yang mempelajari keracunan zat kimia termasuk obat, zat yang digunakan dalam rumah tangga, industri, maupun lingkungan hidup lain. Dalam cabang ini juga dipelajari cara pencegahan, pengenalan dan penanggulangan kasus-kasus keracunan.


2.1.7        Farmasi
Suatu sistem yang memberikan pelayanan kesehatan dengan perhatian khusus pada pengetahuan tentang obat dan efeknya pada manusia dan hewan.

2.2  Jenis-Jenis Obat
2.2.1        Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat yang memiliki efek sangat luas sehingga  banyak  digunakan untuk mengobati berbagai penyakit. Glukokortikoid merupakan  salah  satu kortikosteroid yang luas penggunaannya, salah satunya untuk palliative care. Glukokortikoid banyak  digunakan  untuk  mengurangi peritumoral  edema  yang  berkaitan dengan  tumor  otak,  obstruksi  lambung,  kompresi  sumsum  tulang  belakang,  sindrom vena  cava  superior dan obstruksi uterik. Glukokortikoid  juga  digunakan  untuk  mengatasi  simptom  seperti  mual  dan  dypsnea,  anorexia,  kehilangan berat badan, fatigue, dan meningkatkan kenyamanan pasien  (Pilkey et  al., 2012). Di bidang pediatri terutama pada kegawatan, kortikosteroid digunakan pada  krisis  adrenal,  sindroma  gagal  nafas,  acute  respiratory distress  syndrome (ARDS), syok septik, dan lain-lain (Azis, 2011).
Kelenjar  adrenal  mengeluarkan  dua  klas  steroid  yaitu  Corticosteroid  (  glukokortikoid  dan  mineralo kortikoid ) dan sex hormon. Mineralokortikoid banyak berperan dalam pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit,sedang glukokortikoid berperan dalam metabolisme karbohidrat. Glukokorticoid  dikeluarkan  oleh  korteks  kelenjar  adrenal  yang  dikeluarkan  kedalam  sirkulasi  secara circadian  sebagai  respon  terhadap  stress.Cortisol  merupakan  glukokortikoid  utama  didalam  tubuh manusia. 
Meskipun  kortikosteroid  mempunyai  efek  terapi  yang  luas,  tetapi penggunaannya dalam  jangka panjang menimbulkan berbagai efek samping yang dapat  merugikan  pasien.  Efek  samping  yang  muncul  akibat  penggunaan kortikosteroid  diantaranya  gangguan  keseimbangan  cairan  elektrolit,  ulkus pepticum,  infeksi  / penurunan  sistem  imun, miopati, osteoporosis, osteonekrosis, gangguan pertumbuhan  (Azis, 2011). Hiperglikemia diketahui sebagai salah satu komplikasi  dari  pemberian  kortikosteroid  dan  dapat  menjadi  faktor  prognosis negatif pada pasien diabetes mellitus  tipe 2 (DM  tipe 2) (Davenport dkk., 2010). Peningkatan glukosa darah akan  terjadi  setelah beberapa hari menggunakan oral kortikosteroid dan  akan  berubah  tergantung waktu, dosis dan  tipe kortikosteroid yang  digunakan  (Territary  Organitations  of  Diabetes  Australia,  2009). Glukokortikoid  meningkatkan  kadar  glukosa  darah  dan  menghambat  ambilan glukosa oleh sel-sel otot. Peningkatan kadar glukosa darah memacu sekresi insulin yang menstimulasi  lipogenesis, menyebabkan  peningkatan  deposisi  lemak  yang disertai dengan peningkatan  sekresi  asam  lemak dan  gliserol ke dalam  sirkulasi. Pasokan glukosa yang didapatkan dari glukoneogenesis, sekresi asam amino dari katabolisme otot, dan hambatan ambilan glukosa perifer, semuanya berperan dalam pengaturan glukosa darah (Katzung, 2003).
Fungsi dan peran glukokortikoid :
Glukokortikoid mempunyai efek terhadap semua sistem didalam tubuh,
1.      Efek  terhadap Metabolisme :
Karbohidrat    : 
·         Meningkatkan glukoneogenesis 
·         Mengurangi penggunaan glukosa di jaringan perifer dengan cara menghambat uptake dan penggunaan glukosa oleh jaringan mungkin melalui hambatan transporter glucose.
Lemak            :      
·         Meningkatkan lipolisis dijaringan lemak Pada penggunaan khronis dapat terjadi redistribusi sentral lemak didaerah dorsocervical,bagian belakang leher ( “ Buffalo hump “ ) muka ( “ moon face ” ) supraclavicular,mediastinum anterior dan mesenterium. Mekanisme terjadinya redistribusi ini tidak jelas.
Protein           :      
·         Meningkatkan pemecahan protein menjadi asam amino dijaringan perifer yang kemudian digunakan untuk glukoneogenesis.



2.      Efek terhadap proses keradangan dan fungsi immunologis:
Produksi normal dari glukokortikoid endogen tidak akan berpengaruh secara bermakna terhadap proses keradangan dan penyembuhan.Kelebihan glukokortikoid endogen dapat menekan  fungsi immunologis  dan  dapat  mengaktifasi  infeksi latent. Efek  immunosupressi  ini  digunakan  dalam pengobatan penyakit-penyakit autoimmune,proses inflammasi dan transplantasi organ. Peran glukokortikoid dalam proses immunologis dan inflammasi adalah :
·         Merangsang pembentukan protein ( lipocortin ) yang menghambat phospholipase A2 sehingga mencegah aktivasi kaskade asam arachidonat dan pengeluaran prostaglandin.
·         Menurunkan jumlah limfosit dan monosit diperifer dalam 4 jam, hal ini terjadi karena terjadi redistribusi temporer limfosit dari intravaskular kedalam limpa, kelenjar limfe,ductus thoracicus dan sumsum tulang. 
·         Meningkatkan pengeluaran granulosit dari sumsum tulang kesirkulasi, tapi menghambat akumulasi netrofil pada daerah keradangan.
·         Menghambat fungsi fagositik dan sitotoksik makrofag
·         Menghambat pengeluaran sel-sel radang dan cairan ketempat keradangan.

3.      Efek glukokortikoid terhadap musculoskeletal dan Jaringan ikat :
Tulang :
·         Pada  pemakaian  yang  lama  dapat  menghambat  fungsi  osteoblast  dan  mengurangi pembentukan tulang baru menyebabkan terjadinya osteopenia.
·         Meningkatkan jumlah osteoclast
·         Secara tidak langsung mengurangi absorbsi calcium di saluran cerna
·         Efek sekunder glukokortikoid juga meningkatkan Parathyroid hormon dalam serum.
·         Meningkatkan ekskresi calcium di ginjal
Otot                                                                                                                                :
Glukokortikoid meningkatkan pemecahan asam amino dari otot untuk digunakan dalam glukoneogenesis,sehingga dalam pemakaian lama dapat menyebabkan kelainan otot ( myopathy ) yang berat.
Jaringan ikat :
·         Glukokortikoid menyebabkan supressi fibroblas DNA dan RNA, serta sintesis 
Protein.
·         Juga menyebabkan supresi sintesis matriks intraselular ( kolagen & hyalurodinat ) Pemakaian  lama  dapat  menyebabkan  gangguan  proses  penyembuhan  luka,  apalagi gerakan  makrofag  kedaerah  keradangan  juga  menurun  pada  pemberian steroid  yang lama sehingga akan mempersulit penyembuhan luka.

4.      Efek neuropsychiatrik :
Glukokortikoid  mempunyai  pengaruh  terhadap  tingkah  laku  seperti  pola  tidur, kognitif  dan penerimaan  input  sensoris.  Pada  penelitian-penelitian  yang  dilakukan pada  penderita  yang mendapatkan steroid exogen sering menunjukkan euphoria, mania bahkan psikosis. Penderita  dengan  insuffisiensi  adrenal  juga  dapat menunjukkan  gejala-gejala  psikiatris  terutama depresi, apati dan letargi.

5.      Efek terhadap Saluran Gastrointestinal :
·         Glukokortikoid mempunyai efek langsung terhadap transport ion natrium di colon melalui reseptor glukokortikoid.
·         Pemakaian yang lama meningkatkan terjadinya resiko ulkus peptikum disaluran cerna bagian atas.Mekanisme terjadinya belum diketahui,mungkin melalui hambatan penyembuhan luka yang disebabkan factor-faktor lain.

6.      Efek terhadap pertumbuhan :
Pada anak dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan linier, penyebabnya belum diketahui secara pasti, diduga melalui hambatan hormon pertumbuhan.

7.      Efek pada paru  :
Dapat merangsang pembentukan surfactant oleh sel pneumatosit II Efek anti inflammasi dan immunosupressi kortikosteroid adalah efek farmakologik utama yang banyak digunakan dalam pengobatan.
Toksisitas Glukokortikoid:
Ada dua kategori efek toksik akibat dari pemakaian glukokortikoid, yaitu :
·         Akibat penghentian terapi steroid
·         Akibat penggunaan dosis tinggi  ( suprafisiologis ) dan lama

1.      Akibat yang bisa terjadi pada penghentian terapi steroid adalah 
·         Kambuhnya kembali penyakit yang kita obati
·         Yang paling berat adalah insuffisiensi adrenal akut akibat penghentian terapi mendadak setelah terapi steroid yang lama sehingga sudah terjadi supresi aksis HPA( Hypothalamus )
·         Pituitary-Adrenal ) yang tidak dapat segera berfungsi dengan baik. Terdapat variasi dari tiap individu mengenai berat dan lama supresi adrenal sesudah terapi kortikosteroid sehingga sulit menentukan resiko relatif untuk terjadinya krisis adrenal pada tiap individu.

2.      Akibat terapi steroid dosis suprafisiologis
Selain supresi aksis HPA (Hypothalamus) akibat pemberian dosis suprafisiologis banyak kelainan-kelainan lain  yang bisa terjadi.
Efek samping pemberian Glukokortikoid:
a.       Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit: 
Edema, hipokalemic alkalosis, hipertensi, Hiperglikemia

b.      Infeksi
Bisa mengaktifasi infeksi laten. Pada penderita-penderita dengan infeksi pemberian glukokortikoid hanya diberikan bila sangat dibutuhkan dan harus dengan perlindungan pemberian antibiotika yang cukup.
c.       Ulkus Pepticum
Hubungan antara glukokortikoid dan terjadinya ulkus pepticum ini masih belum diketahui. Mungkin melalui efek glukokortikoid yang menurunkan perlindungan oleh selaput lendir lambung ( mucous barrier ), mengganggu proses penyembuhan jaringan dan meningkatkan produksi asam lambung dan pepsinogen dan mungkin oleh karena hambatan penyembuhan luka-luka oleh sebab-sebab lain.
d.      Myopati
Terjadi karena pemecahan protein otot-otot rangka yang dipakai sebagai substrat pembentukan glukosa. Miopati ini ditandai dengan kelemahan otot-otot bagian proksimal tangan dan kaki.
e.       Perubahan tingkah laku
Gejala yang bisa timbul bervariasi : nervous, insomnia, euphoria, psychosis
f.       Ostoporosis
Osteoporosis dan fraktura kompressif sering terjadi pada penderita-penderita yang mendapat terapi glukokortikoid dalam jangka lama, terutama terjadi pada tulang dengan struktur trabeculae yang luas  seperti tulang iga dan vertebra.

g.      Osteonecrosis
Terjadi necrosis aseptic tulang sesudah pemakaian glukokortikoid yang lama meskipun osteonecrosis juga dilaporkan terjadi pada pemberian jangka pendek dengan dosis besar Osteonecrosis sering terjadi pada caput femoris.

h.      Gangguan pertumbuhan
Gangguan pertumbuhan pada anak bisa terjadi dengan dosis yang relatif kecil. Mekanisme yang pasti dari gangguan pertumbuhan ini belum diketahui. Pemberian glukokortikoid antenatal pada binatang percobaan menyebabkan terjadinya cleft palate dan gangguan tingkah laku yang kompleks. Glukokortikoid jenis yang fluorinated ( dexamethasone, betamethasone, beclomethasone, triamcinolone ) dapat menembus barier placenta, oleh karena itu walaupun pemberian glukokortikoid antenatal dapat membantu pematangan paru dan mencegah RDS namun kita tetap harus waspada terhadap kemungkinan terjadinya gangguan pertumbuhan/ perkembangan janin.

Penggunaan klinis glukokortikoid
Prinsip-prinsip terapi glukokortikoid :
1.      Waspada terhadap kemungkinan terjadinya efek samping, pertimbangkan dengan cermat untung ruginya.
2.      Dosis yang sesuai untuk mendapatkan efek theurapeutik. Pada pemberian yang lama diberikan dosis sekecil mungkin yang sudah memberi efek yang diinginkan. Bila tujuan terapi hanya untuk mengurangi rasa sakit atau mengurangi gejala dan tidak menyangkut keselamatan jiwa pemberian steroid dapat dimulai dengan dosis kecil dan dinaikkan secara bertahap sampai efek yang diinginkan tercapai, tetapi pada kasus-kasus berat yang mengancam jiwa steroid diberikan dalam dosis tinggi untuk segera menghindari krisis yang mengancam jiwa. Efek yang merugikan tubuh pada umumnya terjadi pada pemakaian steroid dalam waktu yang lama jarang terjadi pada pemberian dalam waktu yang singkat meskipun dalam dosis besar.
3.      Penghentian terapi yang sudah berlangsung lama tidak boleh dilakukan secara mendadak karena dapat menyebabkan gejala insuffisiensi adrenal yang kadang-kadang fatal.

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dalam terapi steroid ditempuh beberapa cara yaitu :
·         Diberikan secara alternate day dengan glukokortikoid short acting ( prednison )
·         Pulse therapy dengan dosis tinggi, yaitu diberikan dengan dosis tinggi dalam beberapa hari seperti pemberian methyl prednisolon 1 – 1,5 mg/hari selama 3 hari pada kasus-kasus immunologis yang berat seperti pada rejeksi akut pada transplantasi, necrotizing glomerulo nephritis, lupus nephritis. Indikasi penggunaan glukokortikoid akut jarang dan hanya digunakan pada beberapa penyakit.

Pemakaian klinik glukokortikoid :
1.      Replacement therapy
2.      Sebagai supresi sekresi androgen pada hiperplasi adrenal congenital ( CAH )
3.      Terapi untuk kelainan-kelainan non endokrin ( penyakitn - penyakit ginjal, infeksi,  reaksi transplantasi, penyakit-penyakit rheumatik, allergi dsb ).
Replacement Therapy :
Terapi ini diberikan pada penderita-penderita yang menderita insuffisiensi adrenal baik yang akut maupun khronis, sekonder atau primer. Yang paling berbahaya dan dapat menyebabkan kematian adalah insuffisiensi adrenal akut( Adrenal Crisis ). Krisis adrenal ini seringkali disebabkan karena penyakit-penyakit adrenal jarang terjadi pada insuffisiensi sekunder dan sering terjadi karena penghentian mendadak terapi steroid yang lama dan dengan dosis tinggi. Gejala-gejala krisis adrenal ditandai oleh gejala-gejala defisiensi glukokorticoid maupun mineralokortikoid gastrointestinal, dehidrasi, hiponnatremia, encephalopathy, hipercalcemia, asidosis metabolic, hiperkalemia, kelemahan, letargi dan hipotensi.

Penatalaksanaan krisis adrenal adalah :
·         Resussitasi  :  Terapi shock : Infus  garam faali ( PZ ) 
·         Hidrocortisone  75  -  100 mg/m2  IV  bolus  dilanjutkan  dengan  50  -  75 mg/m2  dibagi dalam 3 kali pemberian, sesudah stabil dilanjutkan dengan 25 mg/ 6 - 8 jam  i.m
·         Pemberian mineralokortikoid DOCA ( Desoxycortisone acetate ) 1 – 5 mg/24 jam  i.m, bila  sudah dapat makan DOCA  dapat  diganti  dengan Fluorohydrocortisone 0,05  -  0,1 mg/hari per oral
·         Glukosa
·         Koreksi kelainan elektrolit yang terjadi ( hiponatremia, hiperkalemia )
·         Terapi terhadap factor pencetus seperti infeksi, trauma atau perdarahan.

Pengawasan penderita yang mendapat glukokortikoid. Penderita-penderita  yang  mendapat  glukokortikoid  dalam  waktu  lama  harus  diawasi  terhadap kemungkinan timbulnya efek samping atau reaksi idiosinkrasi. Penderita-penderita yang mendapat glukokortikoid lama :
b.      Harus diberi protein tinggi
c.       Diet harus mengandung kalium,kalsium tinggi dan rendah natrium
d.      Aktivitas dan olahraga cukup untuk menghindari atropi otot dan osteopenia
e.       Balita  harus  selalu  diamati  pertumbuhannya  setiap  3  bulan  sampai  usia  6  tahun kemudian pengamatan dilakukan setiap 6 bulan.
f.       Pemberiankalsium dan vitamin D
g.      Selalu  dilakukan  pengukuran  berat  badan,tinggi  badan,  tekanan  darah,  gula  darah, elektrolit serum, maturasi dan densitas tulang 
h.      Waspada kemungkinan aktivasi infeksi laten
i.        Hati-hati kemungkinan interaksi dengan obat-obat lain
j.        Penghentian obat pada pemakaian lama ( lebih dari 2 minggu ) harus dilakukan secara bertahap untuk menghindari sindroma withdrawal.

Dalam  pemberian  glukokortikoid  hal  lain  yang  harus  dipertimbangkan  adalah  kemungkinan  interaksi dengan  obat-obatan  lain  yang  diberikan  secara  bersamaan  yang bisa  menurunkan  efektivitas  obat, menghambat efek obat atau bahkan potensiasi efek samping obat yang bisa membahayakan penderita.
2.2.2        Antibiotik
Antibiotika ialah zat yang dihasilkan oleh mikroba terutama fungi, yang dapat menghambat pertumbuhan atau membasmi jenis mikroba lain. Antibiotika ( latin : anti = lawan, bios = hidup ) adalah zat-zat kimia yang dihasilkan mikroorganisme hidup tertuma fungi dan bakteri ranah. Yang memiliki khasiat mematikan atau mengahambat pertumbuahn banyak bakteri dan beberapa virus besar, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relative kecil.
Antharyline lain sekarang sedang dikembangkan termasuk agen semisintensis. daumonurobicin (agen pertama dalam golongan ini yang diisolasi). digunakan dalam pengobatan leukemia akut.doxorubicin mempunyai spektrum aktivitas poten yang luas untuk melawan banyak jenis kanker.
Farmakokinetika
Pada penggunaan klinis, antharayline diberikan lewat jalan intervena.konsentrasi darah puncak berkurang sebesar 50% dalam 30 menit pertama setelah disuntikan,terapi kadar darah yang signiifikan tetap berlangsung sampai20 jamantraycline dimetabolisme oleh hati,dengan reduksi dan hidrolisis pada subsittuen.
Penggunaan klinis
Dactinomycin digunakan dalam kombinasi bersama dengan pembedahan dan vincristine(dengan atau tanpa radio terapi) dalam pengobatan adjuvan terhadap tumor Wilm.obat ini juga digunakan bersama methotrexate untuk memberikan pengobatan kuratif pada pasien dengan koriokarsinoma gestasional lokal atau sudah menyebar.
Reaksi-reaksi yang tidak diinginkan
Defresi sumsung tulang , yang merupakan toksisitas pembatas dosis obat ini umumnya terjadi dalam 7 sampai 10.semua elemen darah terpengaruh, tetapi platelet dan leukosit paling banyak dipengaruhi, dan trombositofeni parah terkadang terjadi,mual dan muntah,diare,ulkus mulut, dan eropsi kulit juga terjadi. Obat ini juga bersifat imuno supresif, dan pasien yang menerima obat ini tidak boleh menerima faksin virus hidup.

Plicamycin
Plicamycin merupakan salah satu antibiotik chomocynin yang diisolasi dari steptomyces plicatus. Mekanisme kerja plicamycin tampaknya melibatkan pengikatan DNA,mungkin melalui kompleks antibiotik Mg2+,interaksi ini mengganggu sintesis RNA yang diarahkan DNA.
Bleomiycin
Merupakat seangkaian antibiotik antineoplastik yang dihasilkan oleh streptomyces verticulud, campuran (blexane) dari 11 glikopeptida yangberlainan digunakan dalam terapi, dengan komponen utama berupa bleomycin A2 dan bleomycin B2.
2.2.3        Antitoksin
2.2.3.1  Pengertian
Antitoxin adalah sebuah antibodi dengan fungsi untuk menetralisir racun. Antitoxin pasti diproduksi oleh hewan, tumbuhan, dan bakteri. Meskipun antitoxin sangat berguna untuk menetralisir racun, antitoxin dapat membunuh bakteri dan mikroogranisme lainnya. Antitoxin dibuat dalam organisme, tapi dapat dimasukan kedalam organisme lainnya, termasuk manusia.
Antiserum atau antitoksin merupakan zat anti terhadap toksin. Zat toksin ini berasal dari sejenis racun yang dikeluarkan oleh kuman atau virulen. Racun ini dikeluarkan dari hewan (zootoksin) dan tumbuhan (fitotoksin).

2.2.3.2  Fungsi obat antitoksin
Zat antitoksin ini digunakan sebagai penangkal dari berbagai macam penyakit pada manusia. Zat ini menggunakan serum binatang, tumbuhan, atau manusia yang telah dibuat kebal terhadap suatu penyakit akibat racun tersebut. Antitoksin yang biasa digunakan untuk menetralkan racun di dalam tubuh adalah antitetanus serum (ATS), antidifteri serum (ADS), dan serum antibisa ular (SABU), dan jenis antitoksin lainnya. Antitoksin dapat digunakan human tetanus immunoglubin (TIG)

2.2.3.3  Cara pemberian obat antitoksin
Prosedur ini memerlukan penyuntikan untuk menyuntik binatang dengan kandungan yang aman. Lalu, tubuh binatang membuat antitoxin diperlukan untuk menetralisir racun. Nantinya, darah ditarik dari binatang. Saat antitoxin diterima dari darah, antitoxin akan dimasukan ke manusia atau binatang lainnya, termasuk kekebalan pasif. (catatan: gunakan antitoxin manusia untuk manusia).
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin (TIG) dengan dosis 3000 – 6000 U. Satu kali pemberian saja secara IM tidak boleh secara intravena. Karena TIG mengandung “anti complementary aggregates of globulin”, yang mana ini dapat mencetuskan reaksi alergi yang serius. Bila TIG tidak ada dianjurkan menggunaan tetanus antitoksin yang berasal dari hewan dengan dosis 40000 U. Dengan cara pemberian adalah 20000 U dari antitoksin dimasukan kedalam 200 cc cairan Nacl fisiologis diberikan secara intravena. Pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30 – 45 menit. Setengah dosis yang tersisa 20000 U diberikan secara IM pada daerah sebelah luar.

2.2.3.4                                Jenis – jenis obat antitoksin
1.      Serum anti bisa ular
·         Nama dan struktur : serum anti bisa ular polivalen (kuda)
·         Keterangan : serum polivalen yang berasal dari plasma kuda yang dikebalkan terhadap bisa ular yang memiliki efek neurotoksik (ular yang jenis naja sputatrix : ular cobra, bungarus fasciatus : ular belang ) dan hemotoksik (ular ankystrodon rhodostoma- ular tanah)
·         Indikasi : untuk pengobatan terhadap gigitan ular berbisa.
·         Dosis, cara pemberian dan lama pemberian

Pemilihan anti bisa ular tergantung dari spesies ular yang menggigit. Dosis yang tepatsulit untuk ditentukan karena tergantung dari jumlah bisa ular yang masuk peredaran darah korban dan keadaan korban sewaktu menerima antiserum. Dosis pertama sebanyak 2 vial @ 5 ml sebanyak 2% dalam faal diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40 – 80 tetes per menit. Kemudian diulang setiap 6 jam. Apabila diperlukan (misalnya gejala – gejala berkurang atau bertambah) anti serum dapat terus diberikan setiap 24 jam sampai maksimum (80 – 100 ml). Antiserum yang tidak diencerkan dapat diberikan langsung sebagai suntikan intravena dengan sangat perlahan – lahan. Dosis antiserum untuk anak-anak sama atau lebih besar daripada dosis untuk dewasa.
·         Stabilitas penyimpanan
Disimpan pada suhu 2 – 8  C dalam lemari es, jangan dalam freezer. Kadaluarsa 2 tahun.
·         Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi absolut pada terapi anti bisa ular , terapi diperlukan dan biasanya digunakan untuk menyelamatkan jiwa manusia.
·         Efek samping
1.      Reaksi anafilaktif ; jarang terjadi, tetapi ada timbulnya dapat segara atau dalam waktu beberapa jam sesudah suntikan.
2.      Serum sickness ; dapat timbul 7-10 hari setelah suntikan berupa demam , gatal-gatal , sesak nafas dan gejala alergi lainnya.
3.      Demam disertai menggigil yang biasanya tinbul setelah pemberian serum secara intravena.
4.      Rasa nyeri pada tempat suntikan ; yang biasanya timbul pada penyuntikan serum dalam jumlah besar. Reaksi ini biasanya terjadi dalam 24 jam.

·         Interaksi
Dengan obat lain: belum ada interaksi signifikan yang dilaporkan.
Dengan makanan : -

·         Pengaruh
-          Terhadap kehamilan : tidak ada data mengenai anti bisa ular pada kehamilan. Keuntungan penggunaan terhadap ibu dan bayi melebihi kemungkinan resiko penggunaan serum anti bisa ular.
-          Terhadap ibu menyusui : tidak ada data. Keuntungan pengunaan terhadap ibu melebihi kemungkinan resiko pada bayi.
-          Terhadap anak-anak : anak-anak mempunyai resiko yang lebih besar terhadap envenoming yang parah karena masa tubuh yang lebih kecil dankemungkinan aktifitas fisik yang lebih besar. Anak- anak membutuhkan dosis yang sama dengan dewasa , dan tidak boleh diberikan dosis anak berdasarkan berat badan disebabkan hal ini dapat menimbulkan perkiraan dosis yang lebih rendah. Jumlah serum anti bisa ular yang diperlukan tergantung dari jumlah bisa ular yang perlu di netralisasikan bukan berat badan pasien.

·         Bentuk sediaan
Vial 5 ml. Tiap 5 ml dapat menetralisasi:
v  10-15 LD50 bisa ular tanah (Ankystrodon Rhodostoma)
v  25-50 LD50 bisa ular belang (Bungarus Fasciatus)
v  25-50 LD50 bisa ular kobra (Naja Supatrix) dan mengandung fenol 0,25% v/v

·         Peringatan
Karena tidak ada penetralisasi silang (cross neutralization) serum anti bisa ular ini tidak berkhasiat terhadap gigitan ular yang terdapat di Indonesia bagian timur (misalnya jenis-jenis Acanthopis antarticus , Xyuranus scuttelatus, Pseudechis papuanus dll) dan terhadap gigitan ular laut (Enhydrina cysta)

2.      Serum anti diphteri
a.       Nama dan struktur : serum anti diphteri
b.      Keterangan : seum yang dibuat dari plasma kuda yang dikebalkan terhadap toksin diphteri. Plasma ini di murnikan dan dipekatkan serta mengandung fenol 0,25% sebagai pengawat

-          Golongan atau kelas terapi
Obat yang mempengaruhi sistem imun

-          Indikasi
Untuk pencegahan dan pengobatan diphteri

-          Dosis , cara penberian dan nama penberian
Untuk pencegahan : anak-anak : 1000-3000 IU, intramuskular, tergantung usia. Dewasa : 3000-5000 IU, intramuskular
Untuk pengobatan : 10000IU atau lebih, intramuskular atau intravena , tergantung dari keadaan penderita.

-          Stabilitas penyimpanan : disimpan dalam suhu 2-80C. Kadaluarsa = 2 tahun.
-          Efek samping
1)      Reaksi anafilaktik : jarang terjadi , tetapi bila ada timbulnya dapat segera atau dalam waktu beberapa jam sesudah suntikan.
2)      Serum sickniss : dapat timbul 7-10 hari setelah suntikan berupa demam, gatal-gatal, eksantema, sesak nafas dan gejala alergi lainnya.
3)      Demam disertai menggigil yang biasanya timbul setelah pemberian serum secara intravena.
4)      Rasa nyeri pada tempat suntikan : yang biasanya timbul pada penyuntikan serum dalam skala besar. Reaksi ini biasanya terjadi dalam 24 jam.

3.      Antitoksin herbal
-          buah naga selain mempunyai nilai ekonomis tinggi, juga memiliki khasiat bagi kesehatan manusia, diantaranya sebagai menyeimbangkan kadar gula darah, pencegah kanker, pelindung kesehatan mulut, pengurang kolesterol, dan obat keluhan keputihan.
-          Kangkung ternyata juga berkhasiat sebagai antiracun dan bisa mengobati berbagai gangguan kesehatan. Dengan mengambil 500 gram akar, batang, dan daun kangkung. Kemudian dicuci bersih lalu diblander dengan segelas air lalu diminum.
-          Air kelapa hijau dibanding dengan jenis kelapa lain banyak mengandung tanin atau antidot (antiracun) yang paling tinggi. Secara umum kelapa digunakan untuk mengobati keracunan, panas dalam, sakit panas, demam berdarah, morbili, influenza, kencing batu, sakit saat haid, cacing kremi, sakit gigi, ubanan, dan ketombe.
-          Mentimun memiliki nama scientific cucumis sativus. Mengandung 0,65% protein, 0,1% lemak, dan karbohidrat sebanyak 2,2%.biji mentimun mengandung racun alkoloid jenis hiposantin yang berfungsi untuk mengobati anak-anak yang menderita cacingan.

2.2.4        Deuretik
Diuretik ialah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin. Istilah diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan volume urin yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah pengeluaran (kehilangan) zat-zat terlarut dan air. Fungsi utama diuretic adalah untuk memobilisasi cairan udem, yang berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel kembali menjadi normal.
Diuretik memiliki lima kelas obat, setiap kelas bekerja disisi yang sedikit berbeda dalam nefron atau menggunakan mekanisme yang berbeda. Kelas diuretik meliputi tiazid dan diuretik seperti tiazid, loop diuretik, inhibitor karbonat anhidrase, diuretik hemat kalium, dan diuretik osmotik. Keseluruhan asuhan keperawatan pasien mendapatkan diuretik apapun memiliki kesamaan.
2.2.4.1 Agens diuretik
Agens diuretik biasanya hanya dianggap sebagai obat-obatan yang dapat meningkatkan jumlah produksi urine oleh ginjal. Sebgaian besar diuretik memang meningkatkan volume urine yang dihasilkan sampai jumlah tertentu, tetapi makna klinis yang lebih besar dari diuretik adalah kemampuan diuretik untuk meningkatkan ekskresi natrium.
Cara kerja obat dan indikasi terapeutik
Diuretik mencegah lapisan sel tubulus ginjal mereabsorbsi jumlah ion natrium yang berlebihan dalam filtrat glomerulus. Hasilnya, natrium dan ion yang lain (serta air yang melarutkan kedua zat tersebut) akan terbuang kedalam urine bukannya kembali keldalam aliran darah, karena zat tersebut dapat menyebabkan peningkatan volume intravaskular dan kemudian akan meningkatkan tekanan hidrostatik, yang dapat mengakibatkan kebocoran cairan ditingkat kapiler.
Diuretik diindikasikan untuk pengobatan edema yang berkaitan dengan gagal jantung kongesif, edema paru akut, penyakit hati (termasuk sirosis hepatis), penyakit ginjal, dan untuk menurunkan tekanan cairan dalam mata (tekanan intraokular), yang berguna untuk mengatasi glaukoma. Diuretik yang menurunkan kadar kalium juga dapat digunakan untuk mengobati kondisi yang menyebabkan hiperkalemia.
Penyakit ginjal menimbulkan edema karena terbuangnya protein plasma ke dalam urine ketika terjadi kerusakan pada membran dasar glomerulus. Jenis penyakit ginjal lain dapat menimbulkan edema karena pengaktifan sistem renin-angiotensin sebagai akibat dari penurunan volume darah (yang berkaitan dengan hilangnya cairan kedalam urine), yang menyebabkan turunnya tekanan darah atau akibat kegagalan tubulus ginjal dalam mengatur elektrolit secara efektif.

Kontraindikasi dan peringatan
Penggunaan diuretik dikontraindikasi pada pasien yang alergi terhadap salah satu obat ini. Kondisi lain yang dikontraindikasi untuk diuretik mencakup ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, yang dapat semakin parah dengan adanya perubahan cairan dan elektrolit akibat penggunaan diuretik, dan penyakit ginjal berat, yang dapat mencegah diuretik bekerja atau yang dapat masuk ketahap krisis karena perubahan aliran darah akibat penggunaan diuretik. Tingkat kewaspadaan harus diterapkan pada beberapa kondisi berikut ini: lupus eritematosus sistemik, yang sering kali menyebabkan perubahan glomerulus serta disfungsi ginjal yang dapat mencetuskan gagal ginjal pada beberapa kasus, keadaan abnormalitas toleransi glukosa atau dibetes mellitus, yang diperberat oleh efek peningkatan glukosa akibat penggunaan beberapa agens diuretik, penyakit gout yang mencerminkan adanya abnormalitas pada rebsorpsi tubulus dan sekresi yang normal dalam tubulus, penyakit hati yang dapat mengganggu metabolisme obat yang normal, mengarah pada akumulasi obat atau toksisitas obat, serta kehamilan dan laktasi yaitu kondisi yang dapat terancam bahaya akibat perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Efek merugikan
Efek merugikan yang berkaitan dengan penggunaan diuretik tergantung kelas diuretik tertentu yang digunakan, efek paling umum terlihat pada penggunaan diuretik adalah ketidaknyamanan saluran GI, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, hipotensi, dan gangguan elektrolit.
Interaksi obat-obat yang penting secara klinis
Ketika pasien menggunakan diuretik, terdapat kemungkinan interaksi dengan obat yang bergantung pada keseimbangan elektrolit tertentu untuk mendapatkan efek terapeutiknya (mis. Antiaritmia seperti digoksin) dengan obat yang bergantung pada sifat basa urine agar dapat di ekskresikan dengan tepat (mis.kuinidin), dengan obat yang bergantung pada refleks normal untuk menyeimbangkan efeknya (mis. Agens antihipertensi, agen antidiabetik), karena faktor-faktor ini akan mengalami perubahan akibat penggunaan diuretik.
2.2.4.2  Diuretik tiazid dan diuretik seperti-tiazid
Hidroklorotiazid (hydroDIURIL), diuretik tiazid yang paling sering digunakan dalam kombinasi dengan obat-obatan lain untuk pengobatan hipertensi. Obat ini dapat di gunakan dalam dosis yang lebih kecil karena obat ini lebih ampuh dari pada klorotiazed, yang merupakan obat tertua dalam kelas ini, dan dianggap sebagai obat prototipe. Tiazed lainnya adalah bendroflumetiazed (diucardin), metoklotiazid(aquatensen) politiazid(renese), dan triklormetiazid (dinrese).
Cara kerja obat dan indikasi terapeutik
Dieuretik tiazed termasuk dalam kelas kimia dari obat yang di sebut sulfonamid. Dieuretik seperti-tiazid memilki struktur kimia yang sedikit berbeda tetapi bekerja dengan cara yang sama seperti diuretik tiazid.
Diuretik tiazid dan dieuretik seperti-tiazed biasanya diindikasikan untuk mengatasi edema yang berkaitan dengan gjk atau dengan penyakit hati atau ginjal. Obat-obatan ini juga di jadikan sebagai obat tambahan pada pengobatan hipertensi.
Farmakokinetik
Obat-obatan ini diabsorpsi baik dari saluran gi, dengan awitan kerja obat berkisar dari 1-3 jam. Obat ini di metabolisme dalam hati dan dieksresikan melalui urine. Diuretik ini menembus plasenta dandapat masuk ke asi. Apabila ibu memerlukan salah satu obat ini selama menyusui, ibu perlu mencari cara lain untuk memberi makan bayi nya, karena adanya kemungkinan efek merugikan akibat perubahan cairan dan elektrolit pada bayi.
Efek merugikan
Efek merugikan dari penggunaan tiazid terkait dengan gangguan pada mekanisme pengaturan yang normal dalam nefron. Tanda dan gejala hipokalemia adalah kelemahan, keram otot, dan aretmia. Efek merugikan lainnya adalah penurunan ekskresi kalsium, yang akan menyebabkan peningkatan kadar kalsiu. Kadar asam urat yang tinggi dapat mengakibatkan kondisi yang disebut penyakit gout.
Interaksi obat – obat yang penting secara klinis
Penurunan absorpsi obat ini dapat terjadi apabila obat ini dikombinasikan dengan kolestiramin atau kolestipol. Apabila pasien perlu menggunakan  kombinasi itu, penggunaan kedua obat tersebut harus diberi jeda waktu minimal 2 jam.
Selain itu, terdapat pula peningkatan resiko toksisitas digoksin yang berkaitan dengan perubahan kadar kalium pontensial, kalium serum harus dipantau apabila pasien perlu menggunakan kombinasi ini.
Peningkatan resiko toksisitas litium dapat terjadi apabila obat ini dikombinasikan. Kadar litium serum harus dipantau dan penyesuaian dosis yang dapat dilakukan sesuai kebutuhan.
2.2.4.3  Loop diuretic
Diuretik yang berkerja dalam ansa henle disebut loop diuretic. Saat ini telah tersedia 4 loop diuretic. Furosemid ( lasix), loop diuretic yang paling umum digunakan, merupakan loop diuretic yang kurang kuat daripada loop diuretic yang baru, bumitanid (bumex) dan torsemid (demadex) sehingga obat ini memiliki batas aman yang lebih besar untuk penggunaan dirumah.
Cara kerja obat dan indikasi terapeutik
loop diuretic juga dikenal sebagai high-celling diuretic karena obat tersebut menyebabkan diuresis yang paling besar daripada diuretic lainnya. Obat-obatan ini menghambat pompa klorida dalam ansa henle asenden, tempat normalnya sekitar 30% netrium yang telah disaring akan reabsopsi. Aksi ini menurunkan reabsorsi natrium dan klorida. Loop riudetic memiliki efek yang serupa pada ansa henle desenden dan tubulus kontortus distal, mengakibatkan produksi urine kaya natrium dalam jumlah yang berlebihan. Obat-obatan ini bahkan berkerja pada gangguan asam basa, gagal ginjal, ketidak seimbangan elektrolit atau retensi nitrogen.
loop diuretic biasanya diindikasikan untuk pengobatan gjk akut, edema paru akut, edema yang berkaitan dengan gjk atau dengan penyakit ginjal atau hati, dan hipertensi.
Farmakokinetik
Obat-obatan ini dimetabolisme dan diekskresikan terutama melalui urine. Tidak ada studi yang dikontrol dengan baik mengenai efek obat ini selama kehamilan. Obat ini dikaitkan dengan kematian janin dan ibu dalam studi terhadap binatang dan obat ini tidak dapat digunakan selama kehamilan kecuali manfaatnya pada ibu jauh lebih besar daripada efek merugikan potensial pada janin. Obat ini dapat masuk ke asi apabila ibu yang sedang menyusui memerlukan salah satu obat ini, ibu harus memutuskan apakah akan menghentikan menyusui bayi nya ata menghentikan penggunaan obat, penggunaan obat ini pada anak-anak yang berusia kurang dari 18 tahun belum ditetapkan. Apabila anak-anak menggunakan salah satu obat ini, anak tersebut perlu dipantau secara saksama keseimbangan cairan dan elektrolit serta tindakan bantuan hidup harus siap setiap saat.
Efek merugikan
Efek merugikan yang muncul berkaitan dengan ketidakseimbangan elektrolit dan cairan akibat penggunaan obat ini. Hipokalimia merupakan efek merugikan yang sangat umum terjadi, karena kalium hilang ketika sistem transportasi dalam tubulus mencoba mempertahankan sejumlah natrium yang hilang. Alkalosis atau penurunan ph serum sampai kondisi basah, dapat terjadi ketika bikarbonat hilang dalam urine. Kalsium juga menghilang dalam tubulus bersamaan dengan bikarbonat, yang dapat menyebabkan hipokalsemia dan tetani.


Interaksi obat-obat yang penting secara klinis
Kombinasi loop diuretic dengan aminoglikosida atau sisplatin dapat meningkatan resiko ototoksisitas. mengkin terdapat peningkatan efek antikoagulan jika obat ini di berikan bersama antikoagulan.
Selain itu, kombinasi indomitasi, ibuprofen, salisilat, atau ageens anti inflamasi nonsteroid lainnya dengan obat-obatan ini dapat menurunkan kebocoran natrium dan menurunkan efek anti hipertensi.
Inhibitor karbonat anhidrase
Inhibitor karbonat anhidrase merupakan diuretic yang relatif ringan. Seringkali, obat ini digunakan untuk mengobati glukoma, karena inhibisi karbonat anhidrase menurukan sekresi cairan aqueous humor mata. Agens yang tersedia adalah asetazolamid ( diamax) dan metazolamid (neptazane).
Cara kerja obat dan indikasi terapeutik
Enzim karbonat anhidrase merupakan katalis untuk pembentukan natrium bikarbonat, yang disimpan sebagai cadangan alkalin dalam tubulus ginjal, dan ekskresi hidrogen, yang menyebabkan urine sedikit bersikap asam.
Obat ini digunakan pula sebagai obat tambahan terhadap obat diuretic lain ketika diperlukan efek diuresis yang lebih banyak. Asetazolamid digunakan untuk mengatasi glaukoma, bersama dengan obat lain untuk mengobati epilepsi dan untuk mengobati mountain sickness. Metazolamid ( nepazane) terutama digunakan untuk mengobati glaukoma.
Farmakokinetik
Obat ini dapat diabsorpsi cepat dan didistribusikan secara luas dalam tubuh. Obat ini di ekskresikan melalui urine. Beberapa obat ini dkaitkan dengan abnormalitas janin, dan wanita yang sedang hamil tidak boleh menggunakan obat ini.karena adanya efek merugikan potensial pada bayi, diperlukan metode pemberian makanan yang lain untuk bayi apabila ibu menggukan obat ini selama menyusui.
Efek merugikan
Efek merugikan dari inhibitor karbonat anhidrase berkaitan dengan gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit, asidosis metabolik, merupakan efek berbahaya yang relatif umum dan berpotensi menimbulkan bahaya, terjadi saat bikarbonat hilang. Hipokalemia juga merupakan keadaan yang sering muncul karena ekskresi kalium mengalami peningkatan akibat tubulus membuang kalium dalam upayanya untuk mempertahankan sejumlah natrium yang diekskresikan. Pasien juga mengeluhkan parestesia( kesemutan) pada ekstremitas, konfusi, dan rasa mengantuk, yang kesemuanya berkaitan dengan efek pada saraf yang diakibatkan perubahan elektrolit.
Interaksi obat-obat yang penting secara klinis
Kombinasi obat ini dengan salisilat dan litium dapat meningkatkan ekskresi salisilat dan litium. Tindakan kewaspadaan perlu diterapkan untuk memantau kadar serum pada pasien yang menggunakan litium.
2.2.4.4  Diuretik Hemat Kalium
Diuretic hemat kalium adalah amilorid (midamor),spinorolakton (aldactone),dan triamterin (dyrenium). Semua diuretic ini digunakan pada pasien yang beresiko tinggi mengalami hypokalemia terkait dengan penggunaan diuretic (mis.,pada pasien yang menggunakan digitalis,pasien yang mengalami aritmia jantung). Diuretic ini tidak sekuat loop diuretic, tetapi obat ini dapat menahan kalium,bukan membuangnya.
Cara kerja obat dan indikasi terapeutik
Beberapa diuretic bekerja dengan membuang natrium dan menahan kalium. Spirinolakton bekerja sebagai antagonis aldosterone,menghambat kerja aldosterone dalam tubulud distal. Amilorid dan triamterin bekerja untuk menghambat sekresi kalium disepanjang tubulis. Efek diuretic obat ini didapat dari keseimbangan yang dicapai saat membuang natrium untuk mengimbangi kalium yang ditahan.
Diuretic hemat kalium kadang digunakan sebagai obat tambahan untuk tiazid atauu loop diuretic atau pada pasien yang terutama beresiko mengalami hypokalemia, seperti pada pasien yang menggunakan antiaritmia tertentu atau dogoksin dan yang memiliki kondisi neurologis tertentu. Spirinolakton,obat yang paling sering digunakan ,merupakan obat pilihan untuk mengobati hiperaldosteron,yakni kondisi pada penyakit sirosis hepatis dan sindrom nefrotik.

Farmakokinetik
Obat ini diabsorbsi dengan baik,dapat berkaitan dengan protein,dan didistribusikan secara meluas di dalam tubuh. Obat ini dimetabolisme dalam hati dan terutama di ekskresikan melalui urine. Semua diuretic ini menembus plasenta dan masuk ke asi. Penggunaan obat ini selama kehamilan bukan merupakan tindakan yang tepat dan obat ini hanya digunakan jika ibu memiliki indikasi penyakit,bukan karena manifestasi atau komplikasi kehamilan,dan manfaat pengunaan obat ini pada ibu harus jauh lebih besardari pada resiko potensial pada janin. Apabila salah satu obat ini diperlukan selama laktasi,perlu digunakan metode lain dalam memberi makan bayi,karena adanya efek merugikan potensial pada perubahan cairan dan elektrolit dalam tubuh bayi.
Efek merugikan
Efek merugikan yang palin sering terjadi pada penggunaan diuretic hemat kalium adalah hyperkalemia,yang dapat menyebabkan letargi,konfusi,ataksia,kram otot,dan aritmia jantung. Pasien yang menggunakan obat ini perlu mendapatkan evaluasi secara teratur terhadap adanya tanda peningkatan kadar kalium dan mendapatkan informasi mengenai tanda dan gejala yang perlu dilaporkan. Mereka juga harus disarankan untuk menghindari makanan yang tinggi kalium.
Interaksi obat-obat yang penting secara klinis
Kombinasi diuretic hemat kalium dengan salisilat akan menurunkan efek diuretic. Penyesuaian dosis mungkin diperlukan untuk mendapatkan efek terapeutik.
2.2.4.5  Diuretik osmosis
Diuretic osmosis menarik air kedalam tubulus ginjal tanpa membuang natrium. Obat ini merupakan diuretic pilihan dalam kasus terjadinya peningkatan tekanan intracranial atau gagal ginjal akut akibat syok,overdosis obat,atau trauma. Diuretik osmosis terdiri atas dua jenis agens yang ringan-gliserin (osmoglyn) dan isosorbid (ismotic)-dan dua agens yang sangat kuat-manitol (osmitrol) dan urea (ureaphil). Gliserin dapat diberikan melalui intravena untuk mengatasi peningkatan tekanan intracranial dan digunakan secara oral untuk mengobati glaucoma. Isosorbid tersedia hanya dalam bentuk oral dan merupakan obat yang dipilih untuk mengobati glaucoma. Manitol, yang hanya tersedia dalam bentuk intravena,merupakan pengobatan utama untuk peningkatan tekanan intracranial dan gagal ginjal akut. Urea juga hanya tersedia untuk penggunaan intravena: obat ini diindikasikan untuk menurunkan tekanan intracranial dan pengobatan glaucoma akut.
Cara kerja obat dan indikasi terapeutik
Beberapa nonelektrolit digunakan secara intravena untuk meningkatkan volume cairan yang dihasilkan ginjal. Manitol ,sebagai contoh,adalah gula yang tidak diabsorpsi dengan baik oleh tubulus; obat ini bekerja dengan menarik sejumlah besar cairan ke dalam urine dengan tekanan osmotic dari molekul gula yang besar. Karena tubulus tidak dapat mengabsorbsi semua gula yang ditarik kedalamnya,sejumlah besar cairan akan terbuang dalam urine. Efek dari obat diuretic osmosis tidak hanya terbatas pada ginjal, karena zat yang dimasukan menarik cairan kedalam system vascular dari ruang ekstravaskular,termasuk aqueous humor. Oleh karena itu,obat ini sering kali digunakan dalam situasi akut ketika obat ini diperlukan untuk menutunkan tekanan intraocular sebelum pembedahan mata atau selama serangan glaucoma akut. Manitol juga digunakan untuk menurunkan tekanan intracranial,mencegah fase oliguria pada ginjal,dan meningkatkan pergerakan zat toksik melalui ginjal.
Farmakokinetik
Obat ini dapat bebas melalui filter pada glomerulus ginjal,diabsorbsi dengan buruk oleh tubulus ginjal,tidak disekresikan oleh tubulus,dan tidak mengalami metabolism. Kerja obat ini bergantung pada konsentrasi aktivitas osmosis dalam cairan. Belum diketahui apakah obat ini dapat membahayakan janin,dan dapat digunakan selama kehamilan hanya jika manfaat pada ibu jauh lebih besar dari pada resiko potensialnya pada janin. Efek obat ini selama laktasi belum dipahami seluruhnya; karena adanya risiko potensial pada janin atau perubahan keseimbangan cairan pada ibu,kewaspadaan harus diterapkan apabila salah satu obat ini diperlukan ibu selama menyusui.
Efek merugikan
Efek merugikan yang terjadi dan berpotensi menimbulkan bahaya terkait penggunaan diuretic osmosis adalah penurunan kadar cairan secara tiba-tiba. Mual,muntah,hipotensi,pusing,konfusi dan sakit kepala dapat disertai dengan dekompensasi jantung dan bahkan syok. Pasien yang mendapatkan obat ini harus dipantau ketat terhadap adanya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.

2.5  Antihistamin
Antihistamin dapat ditemukan dalam obat bebas dan dirancang untuk meredakan gejala pernapasan serta mengobati alergi. Semua obat ini menghambat efek histamine,memberi kenyamanan pada pasien yang menderita mata gatal,pembengkakan,kongesti,dan hidung dengan secret menetes.
Tersedia berbagai macam antihistamin,meliputi obat generasi pertama dan generasi kedua. Anti histamine generasi pertama memiliki efek antikolinergik yang lebih besar, yang mengakibatkan rasa mengantuk. Obat-obatan ini mencakup azatadin (optimine),azekastin (Astelin), bromfeniramin (Dimetan dan lainnya),buklizin (Bukladin-S),setrizin (Reactin), klorfeniramin (Aller-klor dan lainnya),klemastin (Tavist),siklizin (Marezin),siproheptadin (Periaktin),deksklorfeniramin (Dexchlor),dimenhidrinat (Dimentabs dan lainnya,difenhidramin (Benadryl dan lainnya),hidroksizin (Vistaril dan lainnya),meklizin (Bonine),prometazin (Phenergan dan lainnya),dan tripelenarmin (PBZ). Antihistamin generasi kedua adalah desloratadin (Clarinex),feksofenadin (Allegra), dan loratadin (Claritine),yang memiliki efek antikilonergik yang lebih sedikit daripada generasi pertama.
Ketika memilih obat antihistamin,reaksi pasien tersebut terhadap obat biasanya merupakan factor yang menentukan. Apabila individu harus terjaga,salah satu antihistamin generasi kedua nonsedasi merupakan obat pilihan. Karena dijual bebas,obat-obatan ini sering kali disalahgunakan untuk mengobati pilek dan influenza.
Cara Kerja Obat dan Indikasi Terapeutik
Obat antihistamin secara selektif menghambat efek histamine ditempat reseptor histamine-1,menurunkan respons alergi. Obat ini juga memiliki efek antikolinergik (seperti atropine) dan antipruretik. Antihistamin digunakan untuk meredakan gejala yang terkait dangan rhinitis alergi musiman dan tahunan,konjungtivitis alergi,urtikaria tanpa kompikasi ,dan angioedema. Obat ini juga digunakan untuk mengurangi reaksi alergi terhadap darah atau produk darah;meredakan ketidaknyamanan yang berkaitan dengan dermatografi;dan sebagai terapi  tambahan pada keadaan reaksi anafilaktik. Penggunaan lain yan sedang digali adalah meredakan asma akibat olahraga dan hiperventilasi serta brokokontriksi akibat histamin pada kondisi status asmatikus. Obat ini paling efektif bila digunakan sebelum awitan gejala.
Farmakokinetik
Obat antihistamin oral dapat diabsorbsi dengan baik secara oral,dengan awitan kerja berkisar dari 1 sampai 3 jam. Obat ini umumnya dimetabolisme dalam hati,dan diekskresi melalui feses serta urine. Obat ini menembus plasenta dan masuk ke ASI sehingga wanita hamil dan menyusui harus menghindari penggunaan obat ini, kecuali manfaatnya pada ibu lebih besar daripada resiko potensial pada janin atau bayi.
Kontraindikasi dan Peringatan
Obat antihistamin dikontraindikasikan selama kehamilan atau menyusui. Obat ini harus digunakan dengan kewaspadaan tinggi pada pasien yang mengalami kerusakan ginjal atau hati,yang dapat mengubah metabolism dan ekskresi obat. Tindakan khusus harus diterapkan jika obat ini digunakan oleh pasien dengan riwayat aritmia atau interval Q-T yang memanjang,karena aritmia jantung yang fatal telah dikaitkan dengan penggunaan antihistamin tertentu dan obat yang meningkatkan interval Q-T,termasuk eritromisin.
Efek Merugikan
Efek merugikan yang paling sering terlihat pada penggunaan antihistamin adalah rasa mengantuk dan sedasi,meskipun antihistamin generasi kedua memiliki efek sedasi yang lebih sedikit pada banyak orang. Efek antikolinergik yang dapat diantisipasi adalah membrane mukosa saluran nafas dan GI menjadi kering,ketidaknyamanan pada GI dan mual,aritmia,dysuria,hesistensi urine,dan kerusakan kulit serta gatal-gatal akibat kekeringan.

Nama Obat
Dosis Umum
Indikasi Umum
Dimenhidrat (dimentabs,lainnya)
Dewasa dan pediatrik (>12tahun): 50-100 mgPO setiap 4-6 jam atau 50 mg IM nsesuai keperluan.
Pediatrik (<2tahun) : 1,25 mg/kg IM, 2-6 tahun : 25 mgPO setiap 6-8 jam, 6-12 tahun : 25-50 mgPO setiap 6-8 jam.
Meredakan mual dan muntah yang terkait dengan motion sickness
Difenhidramin (benadryl,lainnya)
Dewasa : 25-50 mgPO setiap 4-6 jam atau 10-50 mg IM atau IV.
Pediatrik : 12,5-2,5 mgPO atau 5 mng/kg per hari IM atau IV.
Geriatrik : gunakan dengan hati-hati.
Meredakan gejala rinitis alergi musiman dan tahunan, konjungtivitas alergi, urtikaria tanpa komplikasi dan anmgioedema, mengurangi reaksi alergi, meredakan ketidaknyamanan akibat dermatografi, dan sebagai terapi tambahan pada reaksi anafilaktik, membantu untuk tertidur, parkinsonisme
Meklizin (binine)
Dewasa dan pediatrik (>12 tahun) ; 25-100 mgPO digunakan dengan hati-hati pada pasien lansia.
Meredakan mual dan muntah yang terkait dengan motion sicknes
Desloratadin (clarinex)
Dewasa dan pedeiaatrik (>12 tahun) : 5 mg/hari PO pasien dengan kerusakan hati atau ginjal : 5 mg Po setiap dua hari sekali.
Meredakan gejala rinitis alergi musiman pada pasien berusia >12 tahun


































DAFTAR PUSTAKA


Kareh, Amy M. (2010). Buku Ajar Farmakologi Keperawatan: Buku Ajar. Jakarta: EGC

Katzung, Bertram G. (2001). Farmakologi: Dasar dan Klinik. Jakarta: Selemba Medika

Neal, M. J. (2005). At a Glance Farmakologi Medis. Jakarta: Erlangga




  

1 comment: